Kitab Al-Hikam merupakan sebuah kitab yang sangat terkenal dikalangan peminat ilmu tasawuf dan sering diajar di surau dan masjid di Malaysia dan Indonesia.
Saya sudah membacanya berulang kali dan mendapati ia sangat memberi manfaat kepada saya. Sehingga sekarang pun saya masih mengulangi membacanya. Bagi saya kitab tersebut banyak menjawab persoalan penting mengenai ilmu ketuhanan dan memberi banyak petunjuk kepada usaha mengenal Allah dan bagaimana patut memperbaiki diri kita untuk beroleh sampai kepadaNya. Hal tersebut telah diungkap dengan begitu baik dan halus sekali sehingga kita tidak akan menyedari hal tersebut sehinggalah ianya dibukakan untuk kita. Ia itu setelah dibukakan kepada kita pemahaman yang sebenarnya sebagai mana yang diingginkan oleh pengarang kitab tersebut. Hal tersebut pastinya menuntut kita untuk bergurukan seorang yang betul-betul layak.
Pengarang kitab tersebut yang terkenal dengan panggilan Sheikh Ibnu Atho 'illah berasal dari bangsa Arab. Beliau lahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Dipermulaan hidupnya, beliau merupakan ulamak ilmu tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain yang terkenal di Iskandariah. Di awal hidupnya beliau menjadi penentang dan mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih. Serba sedikit disebabkan oleh pengaruh abang beliau sendiri.
Ibnu Atho 'illah menceritakan :
"Suatu ketika aku mengalami goncangan batin dan jiwa tertekan. Aku bertanya-tanya dalam hatiku : "Apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi (seorang guru tasawuf)?. Setelah lama aku merenung, berfikir akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sebenarnya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak sealiran dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyemak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".
Maka demikianlah, ketika ia sudah mengecap manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sehingga ia sampai kepadanya suatu fikiran bahawa beliau tidak akan dapat menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu sepenuhnya, berhasrat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktiviti lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Atho 'illah menceritakan :
"Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terkandung dalam hatiku ini tiba-tiba guruku berkata : "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".
Akhirnya Sheikh Ibnu Atho 'illah diangkat menggantikan tempat gurunya setelah gurunya dijemput mengadap Allah.
Peristiwa di atas turut disebut di dalam kitab Al-Hikam sebagai sebahagian daripada ulasan mengenai hikmah kedua (di halaman 11) yang bermaksud:
Keinginan untuk tajrid (melulu beribadat, tanpa berusaha dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau pada golongan orang-orang yang harus berusaha (kasab) untuk mendapat keperluan sehari-hari, maka keinginanmu itu termasuk syahwat hawa nafsu yang samar (halus). Sebaliknya keinginanmu untuk berusaha kasab, padahal Allah telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang melulu beribadat tanpa kasab, maka keinginan yang demikian bererti menurun dari semangat dan tingkat yang tinggi.
Bersambung...
If you wish to travel far and fast, travel light. Take off all your envies, jealousies, unforgiveness, selfishness, and fears - Glenn Clark
bagusnya kitab nihhh klu review begini membakar hati untuk suka membaca...sebab aku malas membaca... tahniah sahabat... boleh saya tengok muka untuk berkenalan
ReplyDeleteSebenarnya kitab Hikam ini diulas oleh banyak alim ulamak samada dari aliran sufi atau lainnya. Bagi saya yang diatas itulah yang paling mudah difahami.
ReplyDeleteKitab Hikam juga disyarahkan oleh Tok Guru Pulau manis. Sila lihat http://www.jahabersa.com.my/en/tasawwuf/siri-ilmu-tasawuf-syarah-hikam-tok-pulau-manis
Pasal gambar tu, sila search kat Facebook guna email tempoh hari...
It is remarkable, it is very valuable information
ReplyDeleteI think you have a great page here… today was my first time coming here.. I just happened to find it doing a google search. anyway, good post.. I’ll be bookmarking this page for sure.
ReplyDeletethanks to the author for taking his time on this one.
ReplyDeleteYou have noted very interesting points ! ps decent site.
ReplyDelete